UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 2

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak unuk diperdagangkan.

UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen..

UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 3 butir b

Perlindungan konsumen bertujuan : mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 4 butir c

Hak konsumen : hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 8 ayat (1) butir a

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jumat, 21 Juni 2024

Apa Itu Perlindungan Konsumen ?



Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak konsumen dari praktik bisnis yang tidak adil dan memberikan keadilan dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha. Perlindungan konsumen sangat penting untuk memastikan bahwa konsumen mendapatkan barang dan jasa yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan yang dijanjikan oleh penyedia.

Pentingnya Perlindungan Konsumen dalam Telekomunikasi

Dalam sektor telekomunikasi, perlindungan konsumen sangat krusial mengingat luasnya penggunaan layanan telekomunikasi dan potensi penyalahgunaan oleh penyedia layanan. Konsumen telekomunikasi mencakup pengguna layanan telepon, internet, dan media komunikasi lainnya yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Hak-hak Konsumen Telekomunikasi

  1. Hak atas Kenyamanan, Keamanan, dan Keselamatan: Konsumen berhak mendapatkan layanan telekomunikasi yang aman dan tidak membahayakan.
  2. Hak atas Informasi yang Benar, Jelas, dan Jujur: Konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat mengenai layanan yang mereka gunakan.
  3. Hak untuk Memilih: Konsumen berhak memilih layanan telekomunikasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa paksaan atau penipuan.
  4. Hak atas Pendapat dan Keluhan: Konsumen berhak menyampaikan keluhan dan pendapat mereka tentang layanan yang diterima.
  5. Hak untuk Mendapatkan Ganti Rugi: Konsumen berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi jika layanan yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau merugikan mereka.

Contoh Perlindungan Konsumen dalam Telekomunikasi

1. Transparansi Biaya dan Tagihan
Seorang pelanggan layanan telepon seluler menerima tagihan yang lebih tinggi dari biasanya. Setelah memeriksa rincian tagihan, pelanggan menemukan biaya tambahan yang tidak dijelaskan. Pelanggan menghubungi layanan pelanggan dan mengetahui bahwa ada kesalahan dalam sistem penagihan. Berdasarkan perlindungan konsumen, penyedia layanan wajib memberikan informasi yang jelas dan benar serta mengoreksi kesalahan tagihan dan memberikan kompensasi yang sesuai.

2. Keamanan Data Pribadi

Seorang pengguna internet menyadari bahwa data pribadinya telah bocor dan digunakan oleh pihak yang tidak berwenang setelah mendaftar di layanan penyedia telekomunikasi. Dalam kasus ini, pengguna memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan data pribadi dan penyedia layanan wajib memperbaiki sistem keamanan mereka serta memberikan informasi mengenai kebijakan privasi dan langkah-langkah yang diambil untuk mencegah kejadian serupa.

3. Kualitas Layanan
Seorang pengguna internet mengalami koneksi yang lambat dan tidak stabil, meskipun membayar untuk paket layanan premium. Pengguna mengajukan keluhan kepada penyedia layanan. Berdasarkan hak konsumen atas kenyamanan dan kualitas layanan, penyedia layanan harus memperbaiki masalah tersebut dan memastikan bahwa layanan yang diberikan sesuai dengan yang dijanjikan dalam kontrak.

4. Penghentian Layanan Tanpa Pemberitahuan

Seorang pelanggan mengalami penghentian mendadak layanan telepon rumah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Berdasarkan perlindungan konsumen, penyedia layanan tidak boleh menghentikan layanan secara sepihak tanpa memberikan pemberitahuan yang jelas dan alasan yang valid. Pelanggan berhak untuk mendapatkan penjelasan dan solusi dari penyedia layanan.

5. Pemblokiran Konten Ilegal
Pelanggan menemukan bahwa akses internet mereka diblokir terhadap situs tertentu tanpa alasan yang jelas. Setelah mengajukan keluhan, diketahui bahwa pemblokiran dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Berdasarkan hak konsumen atas informasi yang benar dan kebebasan memilih, penyedia layanan harus memastikan bahwa tindakan pemblokiran konten dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memberikan penjelasan yang transparan kepada konsumen.


Upaya Perlindungan Konsumen Telekomunikasi

  1. Regulasi dan Undang-Undang: Pemerintah dan badan regulasi telekomunikasi menetapkan undang-undang dan regulasi yang mengatur perlindungan konsumen, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan aturan khusus untuk sektor telekomunikasi.
  2. Pengawasan dan Penegakan Hukum: Badan pengawas telekomunikasi memastikan bahwa penyedia layanan mematuhi peraturan dan bertindak atas pelanggaran yang merugikan konsumen.
  3. Layanan Pelanggan yang Responsif: Penyedia layanan harus menyediakan saluran komunikasi yang mudah diakses dan responsif untuk menangani keluhan dan memberikan informasi yang diperlukan oleh konsumen.
  4. Pendidikan Konsumen: Konsumen perlu diberikan informasi dan edukasi mengenai hak-hak mereka serta cara melaporkan pelanggaran atau masalah yang mereka hadapi dalam penggunaan layanan telekomunikasi.
  5. Sistem Penyelesaian Sengketa: Penyedia layanan harus menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan bagi konsumen yang merasa dirugikan.
Kesimpulan

Perlindungan konsumen dalam sektor telekomunikasi sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak konsumen dilindungi dan mereka mendapatkan layanan yang sesuai dengan yang dijanjikan. Dengan adanya regulasi, pengawasan, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, konsumen dapat merasa lebih aman dan terjamin dalam menggunakan layanan telekomunikasi. Konsumen juga perlu proaktif dalam memahami hak-hak mereka dan melaporkan setiap pelanggaran untuk mendorong praktik bisnis yang lebih adil dan bertanggung jawab.


Selasa, 11 Juni 2024

Penjelasan Lengkap tentang Konsumen


Pengertian Konsumen

Konsumen adalah setiap orang atau individu yang menggunakan barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Penggunaan ini bisa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam konteks penggunaan telepon, konsumen adalah orang yang menggunakan layanan telepon baik untuk keperluan pribadi, keluarga, atau orang lain.

Ciri-ciri Konsumen
  1. Pengguna Akhir: Konsumen adalah pengguna akhir dari layanan telepon yang mereka beli atau terima. Mereka tidak menggunakan layanan telepon untuk dijual kembali.
  2. Variasi Penggunaan: Penggunaan layanan telepon oleh konsumen bisa untuk keperluan pribadi, keluarga, atau orang lain.
  3. Hak Konsumen: Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan layanan telepon yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan informasi yang diberikan oleh penyedia jasa.
  4. Perlindungan Hukum: Konsumen dilindungi oleh undang-undang untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan layanan telepon yang layak dan tidak dirugikan oleh praktik bisnis yang tidak adil.
Contoh Kasus Konsumen dalam Penggunaan Telepon

1. Konsumen Individu
Seorang mahasiswa menggunakan layanan telepon seluler untuk berkomunikasi dengan teman-temannya, mengakses internet, dan melakukan panggilan video. Dalam hal ini, mahasiswa tersebut adalah konsumen karena menggunakan layanan telepon untuk keperluan pribadi.

2. Konsumen Keluarga
Sebuah keluarga berlangganan layanan telepon rumah yang digunakan oleh semua anggota keluarga untuk berkomunikasi dengan kerabat dan teman. Penggunaan layanan ini untuk kepentingan bersama di dalam rumah tangga menjadikan setiap anggota keluarga sebagai konsumen dari layanan telepon tersebut.

3. Konsumen untuk Orang Lain
Seorang pekerja kantor menggunakan telepon kantor untuk melakukan panggilan kepada klien atas nama perusahaannya. Meskipun panggilan tersebut dilakukan untuk kepentingan perusahaan, pekerja tersebut tetap dianggap sebagai konsumen dari layanan telepon karena menggunakan layanan tersebut untuk tujuan yang ditentukan oleh orang lain (perusahaan).

4. Konsumen dalam Keadaan Darurat
Seorang pengemudi mobil menggunakan layanan telepon seluler untuk menghubungi layanan darurat saat mengalami kecelakaan. Dalam situasi ini, pengemudi adalah konsumen yang memanfaatkan layanan telepon untuk kepentingan darurat dan keselamatan.

Hak Konsumen dalam Layanan Telepon
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki beberapa hak yang harus dilindungi, antara lain:

  1. Hak atas Kenyamanan, Keamanan, dan Keselamatan: Konsumen berhak mendapatkan layanan telepon yang aman dan tidak membahayakan.
  2. Hak atas Informasi: Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan layanan telepon.
  3. Hak untuk Memilih: Konsumen berhak memilih layanan telepon sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dijanjikan.
  4. Hak atas Pendapat dan Keluhan: Konsumen berhak menyampaikan pendapat dan keluhan atas layanan telepon yang digunakan.
  5. Hak untuk Mendapatkan Ganti Rugi: Konsumen berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila layanan telepon yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kesimpulan
Konsumen dalam penggunaan telepon merupakan elemen penting yang membutuhkan perlindungan dan layanan yang sesuai dengan hak-haknya. Perlindungan terhadap hak-hak konsumen sangat penting untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan layanan telepon yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan apa yang dijanjikan. Setiap orang yang menggunakan layanan telepon untuk keperluan sendiri, keluarga, atau orang lain, tanpa tujuan untuk memperdagangkannya kembali, adalah konsumen yang berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.


Senin, 10 Juni 2024

Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 (Revisi UU Cipta Kerja)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarbangsa;
c. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
e. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti.

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya sinyal telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan Jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
15. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
16. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda.
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.

BAB III
PEMBINAAN

Pasal 4

(1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.

Pasal 5

(1) Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
(3) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
(4) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
(5) Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.

BAB IV
PENYELENGGARAAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:

a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.

Bagian Kedua
Penyelenggara

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum
yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli

Pasal 10

(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Perizinan

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat
diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan:
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c. penyelesaian dalam waktu yang singkat.
(3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan pemerintah.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat

Pasal 12

(1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
(3) Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.

Pasal 14

Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

(1) Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
(2) Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.

Pasal 18

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.

Pasal 20

Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya, dan atau
e. wabah penyakit.

Pasal 21

Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.

Pasal 22

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.


Bagian Keenam
Penomoran

Pasal 23

(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.


Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan

Pasal 25

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 26

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Tarif

Pasal 27

Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.


Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus

Pasal 29

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.

Pasal 30

(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022
3. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30

(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 31

(1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit

Pasal 32

(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
4. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Setiap alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dan dimasukkan untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi standar teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 33

(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
5. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh Pelaku Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh selain Pelaku Usaha wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan sesuai dengan peruntukan dan tidak menimbulkan gangguan yang merugikan.
(4) Dalam hal penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal danf ata:u terdapat kepentingan umum yang lebih besar, Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan spektrum frekuensi radio.
(5) Pemerintah Pusat dapat menetapkan penggunaan bersama spektrum frekuensi radio.
(6) Pemegang Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat melakukan:
a. kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru;
dan/atau
b. pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio, dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(7) Kerja sama penggunaan dan/atau pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(8) Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penggunaan bersama spektrum frekuensi radio, kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dan pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 34

(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
6. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34

(1) Pemegang Perizinan Berusaha dan persetujuan untuk penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi radio.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
7. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 34A dan Pasal 34B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34A

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi dan atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta untuk menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 34B

(1) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur pasif yang dapat digunakan untuk keperluan telekomunikasi wajib membuka akses pemanfaatan infrastruktur pasif dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi.
(2) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang telekomunikasi danf atau penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyelenggara penyiaran.
(3) Pemanfaatan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak secara adil, wajar, dan nondiskriminatif.
(4) Pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)', ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 35

(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan, atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37

Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.


Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi

Pasal 38

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 39

(1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
(2) Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Pasal 41

Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.

BAB V
PENYIDIKAN

Pasal 44

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.


BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal
25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
8. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat(1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (7), atau Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Pasal 46

(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
9. Pasal 46 DIHAPUS

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
10. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).


Pasal 48

Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sesuai UU CIPTA KERJA NO.11 TAHUN 2020 Pasal 71 / sesuai PERPPU NO.2 TAHUN 2022 / sesuai UU CIPTA KERJA NO. 6 TAHUN 2023
11. Pasal 48 DIHAPUS

Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51

Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52

Barang siapa memperdagangkan. membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 53

(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57

Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58

Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.

Pasal 61

(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku.
(2) Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.

Pasal 62

Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 64

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                                                                                                    Disahkan Di Jakarta,
                                                                                                    Pada Tanggal 8 September 1999
                                                                                                    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                                                    Ttd.
                                                                                                    BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 8 September 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154

Apa Itu Perlindungan Konsumen ?

Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindunga...